Menulis Cerpen, Menulis Kehidupan

Cerpen now or never
Cerpen pertamaku di majalah tahun 1995.


Awal tahun 1995, aku mengirim sebuah amplop besar berisi lima naskah cerpen ke majalah Aneka. Alhamdulillah, dua dimuat. 

Walaupun tidak bisa dibilang produktif, aku terus menulis di sela-sela kuliah. benar-benar di sela-sela karena pas jam kuliah sedang berlangsung. 

 Biasanya ini kalo jam kuliah umum yang mahasiswanya buanyak banget. Lebih-lebih kalau pas jam kuliah umum itu nggak ada wajah kinclong yang enak dilirik-lirik. Maklumlah. KEJORA. Kelompok Jomblo Gembira....


Awalnya memang hanya menulis cerpen. Lamaaaa.....sekali. Sebelum akhirnya juga menulis yang lain-lain, termasuk novel  dan tulisan-tulisan nonfiksi.

Serakah? Kemaruk? Nggak, lah.

Di milis pernah ada yang ngomong gini tentang seseorang, "Udah jadi politisi ngapain nulis cerpen? Ngambil jatah orang"

Aku jelas-jelas bukan politisi dan nggak tertarik pada politik. Tapi aku tau siapa orang yang dimaksud.


Sisi-Sisi Kehidupan

Ada banyak sisi kehidupan yang perlu dituliskan. Banyak sekali. Aku sendiri merasa kepalaku seperti sebuah jalan raya yang sibuk. Ada yang harus dituliskan secara fiksi. Ada yang harus dituliskan secara nonfiksi. Ada yang bagus menjadi cerpen. Tapi ada yang baru bisa mencapai maksudnya kalau dijadikan novel.

Beberapa bulan lalu ada yang memberi penawaran, "Siap untuk terus menulis nonfiksi?"

Siap. Tapi tetap nggak bisa meninggalkan fiksi. Aku butuh dua-duanya. Bukan sekadar sebagai pintu pencari nafkah, tapi juga sebagai penyeimbang dalam hidupku.Juga sebagai katup pengaman dari semua yang kualami dalam hidupku.

Jadi, menulis apa saja ayo.


Tapi ternyata, aku menyerah tanpa syarat jika harus menulis puisi. Dalam 18 tahun terakhir, aku hanya pernah menulis 4 puisi. Satu puisi waktu tugas bahasa Indonesia kelas 3 SMA. Satu puisi buat ngisi mading kelas.  Dua puisi lainnya kubuat beberapa tahun yang lalu karena dirayu-paksa oleh kepsek tempat anakku sekolah TK  (1 untuk lomba antar TK, 1 lagi untuk perpisahan TK).

"Mama Sarah pasti bisa. Mama Sarah kan penulis...."

Hiyaaah...!

Setelah berpikir keras selama tujuh hari tujuh malam (sebenernya nggak gitu-gitu banget, sih), puisi itu pun jadi.

Gampang ditebak, salah satu anak yang membawakan puisi itu adalah anakku sendiri. Hehe.... Ternyata, puisi itu menang di tingkat kecamatan. Sayangnya, kalah di tingkat Kotamadya Bandung. Tapi setidaknya, puisi ini menuai pujian dari panitia (sayang panitia bukan juri. Hehe....)


Salam,

Triani Retno A

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.