Penulis Pemula Mendingan Self Publishing

self publishing vanity publishing


Saya lumayan sering, nih, dengar dan baca pernyataan seperti ini: Penulis pemula mendingan self publishing aja! Reaksi saya? 

Hm… terus terang saya nggak suka. Ups, bukan berarti saya antipati pada nerbitin buku dengan cara self publishing seperti ini, ya. Sama sekali enggak.

Yang saya nggak suka adalah nada pesimistis dalam pernyataan itu. Seolah-olah kalau penulis pemula nggak-bakal-nggak-berhak-nggak-mungkin bisa nembus penerbit mayor semisal Gramedia Pustaka Utama, Elex MediaKomputindo, Mizan, Andi, Kepustakaan Populer Gramedia, Bentang Pustaka, dsb. 

Seolah-olah penerbit-penerbit mayor itu hanya untuk penulis yang sudah punya nama (baca: yang sudah menghasilkan banyak karya). Seolah-olah penulis pemula hanya boleh menempuh cara self publishing.

Mampir ke sini juga ya supaya tulisanmu semakin bagus.

Anggapan Salah

Anggapan seperti itu adalah anggapan yang salah. Yang benar adalah:
  1. Semua penerbit menerima naskah dari semua penulis. Ya penulis pemula, ya penulis yang namanya udah berkibar-kibar seperti bendera. Kalau naskahmu ternyata ditolak oleh penerbit mayor, bukan berarti karena kamu pemula. Naskahmu saja yang dinilai belum layak terbit di situ. FYI, penulis yang karyanya udah banyak juga nggak kebal dari penolakan, lho

  2. Semua penulis yang sekarang eksis sebagai penulis memulainya dari status sebagai pemula.

Mbak sih enak ngomong gitu. Mbak kan udah punya banyak buku.

Hehe… ada yang ngedumel gitu nggak? Nggak ada? Syukur, deh.  Pengunjung blog saya emang kece semua :D Eh, ada yang ngedumel? Nggak apa-apa. Tetap kece, kok J

“Punya banyak buku” itu kan kalau dilihat sekarang. Saya juga memulai dari status sebagai pemula, lho. Tapi itu sudah lamaaa sekali. Cerpen pertama saya dimuat di majalah Aneka pada tahun 1995. 

Hei, udah pada lahir belum tuh tahun segitu? :D  Sebelum cerpen pertama saya itu dimuat, udah ada puluhan cerpen yang ditolak.  Sementara itu, buku pertama saya terbit tahun 2006.

Kalau masih belum percaya, saya sodorin nama Putu Felisia, deh. Dia mulai dari nol banget, tapi tetap pede ngirim naskahnya ke penerbit besar. 

Nggak tanggung-tanggung, lho. Dia jadi juara 3 lomba novel Amore Gramedia Pustaka Utama 2013. Sebelumnya, dia juga masuk 20 besar lomba novel di Qanita, Mizan. Tuh, pemula lho!

Rajin Promosi

Jadi, apa nggak boleh nerbitin buku secara self publishing?

Yeee… kata siapa nggak boleh? Boleh-boleh aja. Namun, kalau mau menerbitkan dengan cara seperti ini, sebaiknya punya konsep pemasaran yang jelas.

Kalau buku kita terbit di penerbit mayor, pemasaran menjadi tanggung jawab penerbit. Tentu aja, penerbit juga akan seneng banget kalo kita sebagai penulis mau membantu memasarkan buku karya kita. Setidaknya dengan rajin promosi di media sosial. Kalau menerbitkan sendiri, pemasaran menjadi tanggung jawab kita.

Bukan kebetulan saya pernah bekerja  di Indie Publishing milik Dani Ardiansyah (2011-awal 2013). Jihan Davincka dengan buku Bunda of Arabia adalah salah satu penulis yang berani capek memasarkan bukunya. Hasilnya, Bunda of Arabia laku ratusan eksemplar dalam waktu sebulan.

Saya juga pernah menjadi co-writer untuk Ustaz Arif Rahman Lubis. Kang Arif, begitu saya menyapanya, mengajak saya menjadi co-writer buku Keajaiban Cinta Rasul. Buku ini diterbitkan di Indie Publishing.

Kang Arif dan akun Teladan Rasul punya ratusan ribu follower di Twitter. Nah, ini udah merupakan satu nilai plus. Selain itu, Kang Arif juga sering menjadi pembicara dalam seminar. 

Alhasil, dalam tempo satu minggu, seribu eksemplar Keajaiban Cinta Rasul  habis terjual. Buku ini pun langsung cetak ulang, dan bahkan dilamar oleh sebuah penerbit di Malaysia untuk diterbitkan di sana.

Terkait menulis ini, silakan mampir ke tulisan saya Siapa Bilang Menulis Tidak Butuh Modal.

Percaya Diri

Jadi, boleh-boleh aja kok menggunakan cara self publishing. Dengan catatan, milikilah konsep pemasaran yang jelas dan lakukan dengan percaya diri.

Emangnya nggak boleh ya nerbitin buku secara self publishing tapi bukan dengan target laku sampai ribuan eksemplar?

Boleh-boleh aja, sih. Tapi ya itu tadi. Lakukanlah dengan percaya diri, bukan dengan pikiran minder “Aku kan penulis pemula. Karyaku nggak mungkin bisa terbit di penerbit mayor. Jadi, mendingan nerbitin sendiri aja”.

Jangan lupa, gunakan jasa editor untuk memoles naskahmu agar menjadi lebih cantik dan layak dibaca.

Sekarang, mau pakai cara self publishing atau mau mengirim naskah ke penerbit mayor, nih? 


Salam, 

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.